Saturday, August 20, 2016

Hukum Khitan Untuk Perempuan

Bagi masyarakat muslim Indonesia, khitan bagi anak laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar, meskipun di sana sini masih banyak yang perlu diluruskan berhubungan dengan pelaksanaan sunnah bapak para nabi (Ibrohim ‘alaihissalam). Namun, bagi kaum hawa, khitan menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan, bahkan bisa saja masih menjadi sesuatu yang tabu dilakukan oleh sebagian orang, atau bahkan mungkin ada yang mengingkarinya.

Disyariatkannya khitan bagi kaum wanita adalah sesuatu yang benar-benar ada dalam syariat islam yang suci. Tidak ada khilaf ulama mengenai hal ini. Khilaf di kalangan mereka hanya berkisar antara apakah khitan itu wajib dilakukan oleh kaum wanita ataukah sekedar sunnah (mustahab).

Disebutkan dalam Tufatul Maudud, halaman 164 bahwa Saroh ketika menghadiahkan Hajar kepada nabi Ibrohim ‘alaihissalam , lalu Hajar hamil, hal ini menyebabkan ia cemburu. Maka ia bersumpah ingin memotong tiga anggota badannya. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam khawatir ia akan memotong hidung dan telinganya, lalu beliau menyuruh Saroh untuk melubangi telinganya dan berkhitan. Jadilah hal ini sebagai sunnah yang berlangsung pada para wanita sesudahnya.

Dari Abu Harairah radhiyallahu’anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”lima hal yang termasuk fitroh yaitu: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)

Hukum Khitan Untuk Perempuan

Khitan secara bahasa diambil dari kata (ختن ) yang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar dan memotong sedikit daging yang berada di bagian atas farji (clitoris) dan al-khitan adalah nama dari bagian yang dipotong tersebut. (lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur).

Berkata Imam Nawawi, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.”(Syarah Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340)

Khitan merupakan ajaran nabi Ibrohim ‘alaihissalam, dan umat ini diperintahkan untuk mengikutinya, sebagaimana dalam QS. An-Nahl: 123, “Kemudian Kami wahyukan kapadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrohim, seorang yang hanif.”

1. Hukum wanita sama dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Dari Ummu Sulaim radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud 236, Tirmidzi 113, Ahmad 6/256 dengan sanad hasan).

2. Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut khitan bagi wanita, diantaranya sabda beliau: “Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Tirmidzi 108, Ibnu Majah 608, Ahamad 6/161, dengan sanad shahih).

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila seorang laki-laki duduk di empat anggota badan wanita dan khitan menyentuh khitan maka wajib mandi.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Anas bin Malik rodhiyallahu’anhu berkata, Rosulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu ‘athiyah,”Apabila engkau mengkhitan wanita biarkanlah sedikit, dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Al-Khatib)

3. Khitan bagi wanita sangat masyhur dilakukan oleh para sahabat dan para shaleh sebagaimana tersebut di atas.

Waktu Khitan

Terdapat beberapa hadits yang dengan gabungan sanadnya mencapai derajat hasan yang menunjukkan bahwa khitan dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran, yaitu:

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhuma, bahwasannya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan aqiqah Hasan dan Husain serta mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.(HR. Thabrani dan Baihaqi)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu berkata, “Terdapat tujuh perkara yang termasuk sunnah dilakukan bayi pada hari ketujuh: Diberi nama, dikhitan,…” (HR. Thabrani)

Dari Abu Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan dan mencukur rambutnya serta menshadaqahkan seberat rambutnya dengan perak.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Namun, meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak agak besar, sebagaiman telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhu, bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ?” Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tidak mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori, Ahmad, dan Thabrani).

Berkata Imam Al-Mawardzi, ” Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran dan disunnahkan agar tidak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada udzur.

No comments:

Post a Comment